Menyelam, Meditasi dan Terapi melalui filosofi

Menyelam adalah kegiatan yang diakukan di bawah air dengan atau tanpa menggunakan alat untuk mencapai kedalaman tertentu. Menyelam dengan menggunakan alat biasanya di kenal dengan scuba diving dan tanpa alat di kenal dengan free diving. Lalu apa hubungan antara menyelam, meditasi dan terapi? Kalau mengutip kata-kata iklan, saya cocok di air. Ungkapan ini saya amini, saya memang sangat menyukai kegiatan yang berhubungan dengan air seperti berenang dan menyelam. Menurut saya menyelam merupakan salah satu kegiatan meditasi bawah air. Karena pada prinsipnya menyelam adalah kegiatan olah nafas yang mirip dengan olahraga yoga.

Saat berada di dalam laut  secara tidak langsung otak kita di tuntut untuk tenang, rileks, merasakan keadaan sekitar, memperhatikan setiap tarikan dan hembusan nafas, teknik ini mirip dengan meditasi. Saat menyelam selama kurang lebih 45 menit otak menjadi “auto meditation mode”. Di kedalaman yang hening saya seperti diajak mengenali diri sendiri, mendekat lebih intim dengan alam, dan menyadari keberadaan yang kecil sebagai manusia. Saya menyebutnya sebagai terapi bawah laut. Bertemu dengan biota yang unik dengan tingkahnya yang lucu adalah bonus dari laut karena sudah belajar mengenal alam bawah laut (hehehe). Jadi filosofis.

Buku Filosofi Teras

LALU APA YANG DAPAT DI LAKUKAN SAAT BADAI CORONA COVID-19 INI?

Sebelum virus corona covid-19 menyerang kegiatan menyelam yang saya lakukan terakhir adalah di Bulan Oktober 2019. Saat itu sudah sangat ingin main ke laut (baca: sakau laut). Pilihan lokasi selam saat itu  di daerah bagian Timur Bali, tepatnya di daerah Tulamben, Kubu, Karangasem. Saat ini saya tidak sedang ingin mengulas aktifitas wisata apa saja yang dapat dilakukan. Tetapi ingin sharing tentang buku yang menemani saya saat melakukan perjalanan tersebut. Dan baru hatam (tamat) di baca saat quarantine di gaungkan.  Buku tersebut berjudul Filosofi Teras yang di tulis oleh seorang pasien yang mengalami depresi. Dalam usahanya memperoleh kesembuhan dia tidak sengaja menemukan buku stoic. Dengan prinsip utama “Dikotomi kendali”

Some things are up to us, some things are not up to us.

(ada hal-hal dibawah kendali (tergantung pada) kita, ada hal-hal yang tidak dibawah kendali (tidak tergantung pada) kita.

Dari buku tersebut saya mendapat terapi untuk otak saya yang masif bercabang kemana-mana menyerap berita dari berbagai media. Semakin kepo dengan virus ini membuat saya semakin pusing memikirkan berbagai hal. Mulai dari kepanikan orang-orang, dengan menimbun masker, menimbun makanan, maraknya kejahatan dan pemberitaan lainnya. Beban kerjaan yang kian berat karena WFH (Work From Home) atau WFO (Work Form Office) tidak ada bedanya. Menyita pikiran dan waktu tidak seperti biasanya.

Ada beberapa kutipan dari buku tersebut yang dapat saya aplikasikan sebagai terapi bagi pemikiran yang kian bercabang dalam kondisi badai virus covid-19 ini. Kutipan tersebut adalah:

  1. Manusia tidak memiliki kuasa untuk memiliki apapun yang dia mau, tetapi dia memiliki kuasa untuk tidak mengingini apa yang belum dia miliki, dengan gembira memaksimalkan apa dia terima.
  2. Kekayaan hanyalah ukuran kuantitas asset, properti, dan harta benda. Tidak lebih dari itu. Masalahnya ada orang yang tidak bisa memisahkan kekayaan seseorang dari kualitas pribadinya. Seolah-olah mereka yang lebih kaya otomatis kualitasnya sebagai manusia juga kebih baik. Kekayaan, keahlian, kecantikan, kekuatan fisik, tidak serta merta membuat seseorang “lebih baik dari kita”. Tidak memiliki keinginan untuk memamerkan kekayaan dan merasa lebih baik dari orang lain adalah sesuatu yang besar dan berharga.
  3. Saat yang lain WFH saya tetap harus pergi ketempat kerja dan mengikuti semua protokol perjalanan yang saya tentukan sendiri. Buku filosofi teras menyemangati saya dengan kutipan berikut ini: “saat subuh, ketika kamu merasa sulit meninggalkan tempat tidur katakan pada dirimu sendiri : saya harus bekerja, sebagai manusia, apa yang saya harus keluhkan, jika saya menanyakan hal-hal yang untuknya saya dilahirkan. segala hal yang memang harus saya lakukan datang ke dunia ini, atau inikah mengapa saya diciptakan? untuk meringkuk dibawah selimut agar tetap hangat!
  4. Emosi dan nalar (logika) bukanlah sesuatu kekuatan yang saling bertarung, pada dasarnya semua emosi dipicu oleh penilaian, opini, persepsi kita. Keduanya saling berkaitan, dan jika ada emosi negatif, sumbernya ya nalar (rasional) kita sendiri. Emosi negatif adalah nalar yang tersesat.
  5. Kita memiliki kebiasaan membesar-besarkan kesedihan. Kita tercabik di antara hal-hal masa kini dan hal-hal yang baru akan terjadi. Memikirkan sesuatu masa depan yang belum dapat dibuktikan. Seringkali kita lebih disusahkan oleh kekhawatiran kita sendiri.
  6. Musibah berat terasa berat jika datang tanpa disangka-sangka, dan terasa lebih menyakitkan. Karenanya tidak ada sesuatupun yang boleh terjadi tanpa kita sangka-sangka. Pikiran kita harus selalu memikirkan semua kemungkinan, dan tidak hanya situasi normal, karena adakah sesuatu di dunia ini yang tidak bisa dijungkirbalikkan oleh nasib. (Singkatnya menurut saya ini konsep ikhlas)
  7. Jangan Ribet!! Kamu mendapatkan ketimun pahit ? Ya buang saja. Ada semak berduri dijalan setapak ya berputar saja, lalui jalan yang lain. Itu saja yang perlu kamu tahu. Jangan menuntut penjelasan, kenapa ada hal tidak menyenangkan ini? Mereka yang sesungguhnya mengerti kondisi (dunia) seperti apa akan menertawakanmu. Seperti tukang kayu yang melihat kamu kaget karena ada banyak debu hasil gergaji di tempat kerjanya.
  8. Kamu salah jika kamu melakukan kebaikan pada orang lain berharap dibalas, dan melihat perbuatan baik itu sendiri sudah menjadi upahmu. Apa yang kamu harapkan dari membantu seseorang? Tidakkah cukup kamu sudah melakukan yang dituntut alam (nature) kamu ingin diupah juga? Itu bagaikan mata menuntut imbalan karena sudah melihat, atau bagaikan kaki meminta imbalan karena sudah melangkah.
  9. Orang berbuat jahat akibat ketidaktahuannya (ignorant) dan dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu. Atau sesat, kehilangan narar/akal sehat (khilaf) untuk mengatahui mana yang baik dan jahat. Selama ini saya menganggap manusia hitam dan putih, ada manusia “baik”, ada manusia “jahat”. Namun, label “baik” dan “jahat” ini mereduksi manusia lain menjadi dua kelompok saja, seolah-olah yang “baik” akan baik selamanya, begitu juga dengan yang “jahat”.

Beberapa kutipan buku atas adalah oleh-oleh stay cation untuk otak saya selama tiga hari di tanggal 10-12  lalu hehe. Saya harap teman-teman yang berkunjung di blog ini juga dapat insight yang sama dengan yang saya dapatkan. Masih banyak hal-hal lain yang di bahas oleh Henry Nanampiring seperti bagaimana cara menerima keadaan saat PHK. Kalau di tulis semua nanti saya menulis ulang satu buku beliau hehehe.

Akhir kata, semoga badai ini segera berlalu, karena sudah banyak yang halu liburan. hehe.  Tetap sehat dan bahagia untuk kita semua. Saya yakin teman-teman punya cara terapi masing-masing, boleh sharing di kolom komentar.   ^_^

Exit mobile version