Karena keadaan saat itu aku di jemput oleh nenek ke Jakarta dan tinggal di kampung, aku tidak tahu pasti di usai berapa aku diboyong ke kampung. Yang pasti kondisi saat di jemput oleh nenek masih membutuhkan asi, begitu cerita nenek yang aku dengar.
Sedangkan bayi membutuhkan asi ada di rentang usia 6 bulan sampai dengan 2 tahun, jadi setelah dianalisa dari kumpulan cerita tersebut sepertinya saat itu aku berumur 1 tahunan.
Reno kecil tumbuh dan besar jauh dari hiruk pikuk perkotaan, tinggal dan dibesarkan di sebuah desa yang dikeliling gunung dan sungai. Seperti kata Parto (pembawa acara opera van java) disini gunung disana gunung ditengahnya kampungku, namanya Nagari (kelurahan) “Minang Kabau” dusun (Rw) “Tanjung Durian”, kurang lebih seperti itu pemetaannya, maaf jika kurang tepat, pelajaran geografi saja remedial.
Seperti gambaran kehidupan desa pada umumnya, Reno kecil tidak asing dengan kegiatan mengembala ternak, berpetualang ke bukit-buktit untuk bermain. Bahkan menunggangi sapi dan kerbau merupakan hal yang sudah biasa dia lakukan.
Terkadang Reno kecil pergi ke bukit memanjat pohon kulit manis, mengumpulkan biji kulit manis yang sudah matang, atau memanjat pohon cengkeh hasilnya akan dia jual untuk tambahan uang jajan.
Ada hal lucu yang kalau diingat sekarang berbahaya, aku ternyata pernah memanjat pohon pepaya, padahal pohon tersebut rentan patah, ah namanya juga anak kecil mana paham resiko.
Reno kecil bersekolah cukup jauh dari tempat tinggalnya. Dia harus berjalan kaki-kira kira satu jam menyusuri petak-petak sawah dan menyeberangi sungai melalui jembatan gantung yang dibuat dari rajutan akar dan bambu.
Reno kecil beruntung tidak harus menyusuri jalanan tersebut setiap hari, jalan tersebut di tempuh hanya saat pamannya berhalangan untuk mengantar dan menjemputnya sekolah. Biasanya setiap hari Reno kecil akan di jemput dan diantarkan kembali ke rumah nenek oleh pamannya dengan motor tua. Kebetulan paman aku merupakan salah satu guru di sekolahku.
Petakan-petakan sawah sehabis panen menunggu di tanami padi adalah arena bermain baru bagiku. Banyak bebek bermain di sana dan beberapa bebek duduk di pematang sawah (pematang: pinggiran dari petakan sawah). Reno kecil sangat tertarik dengan bebek di pematang sawah, dia sering menemukan harta karun disana.
Harta karun yang dimaksud adalah telur bebek, terkadang bebek-bebek tersebut sudah kebelet untuk bertelur. Reno kecil senang mengagetkan bebek yang asyik duduk di pematang. Hoaaa!! teriakku, bebek tersebut berhamburan ke tengah sawah. Maka aku dengan mudah mengambil telur bebek yang tergeletak dipematang, tetapi tidak selalu ada. Terkadang aku tidak menemukan apa-apa, tetapi melihat bebek melompak kaget membuatku terkikik akibat berbuatan usilku.
Sungai dan bendungan adalah kolam renang alami Reno kecil, dia tidak pernah belajar berenang keahlian itu terbentuk secara otodidak.
Musim yang di tunggu-tunggu oleh Reno kecil adalah musim layang-layang, pada saat tersebut langit tampak begitu indah dengan beragam bentuk layang-layang berwarna warni berterbangan. Yang paling seru adalah mengejar layangan putus berpacu dengan angin dan gaya grafitasi bumi. Tak jarang dia terjatuh kedalam sawah dan terus berlari dengan kaki berkubang lumpur.
Di desa TV merupakan barang mewah, tidak semua orang memiliki TV, hanya Bapak Kepada Desa yang mempunyai TV dengan antena parabola. Setiap Sabtu Minggu dari jam 8 pagi sampai Magrib Bapak Kepala Desa memperbolehkan anak-anak untuk menonton TV di rumahnya.
Film yang aku tonton saat itu adalah Si Buta dari Gua Hantu, Wiro sableng, tetapi yang aku ingat dan sekarang menjadi takjub adalah saat iklan RCTI, ada tayangan TV di tengah sawah, ada juga tayangan orang sedang diving dengan mengacungkan jempolnya.
Aku terpukau dengan keindahan bawah laut yang ditayangkan, seperti disihir oleh video tersebut aku selalu menyimak setiap potongan cahaya itu dengan terkesima, kebetulan desaku jauh dari laut, jadi aku hanya berkhayal bisa menyelam suatu saat nanti. Ajaibnya semesta mengabulkannya. Inilah alasan aku suka sekali dengan laut ternyata.
Setiap enam bulan sekali di desa diadakan pemutaran film (Layar tancep) di halaman balai desa. Ini adalah hiburan termewah aku dan warga desa lainnya di nagari Minang Kabau saat itu, film yang di putar adalah film Bruce Lee. Selain layar tancep kami juga ada pentas seni “Randai” semacam Theater musical lah, aku senang berada disana, terutama bisa jajan apa saja. Tidak perlu menunggu hari pasar untuk makan sate.
Kemewahan Reno kecil menjadi bolang harus berhenti saat aku kelas 5 SD, dan berpisah dengan teman sepermainan dan nenek karena harus ikut ibu dan kakak ke Jakarta. Ibu memutuskan agar aku melanjutkan sekolah di Jakarta saja, mungkin agar kami bisa kumpul, tidak terpisah-pisah. Sekolah di Jakarta memang jauh lebih memadai dari pada di Desaku.
Sejak saat itu aku hanya 2 kali pulang kampung, bahkan saat nenek meninggal dunia aku tidak bisa pulang kampung, kembali lagi karena keadaan.
Begitulah cerita masa kecilku, kemewahan yang sulit di dapat jika sudah tinggal di kota. Bagaimana dengan cerita masa kecil kalian?