30HMC

Keluargaku seperti Segitiga bukan Cemara.

Keluargaku seperti segitiga sama kaki. Ibu di puncak pertama, aku dan kakak perempuanku di sisi lainnya.

Kami bertiga berusaha saling menguatkan. Tetapi garis hubung antara sisi satu dengan lainnya tidak selalu garis tegas. Ada sisi garis putus putus, sisi tersebut adalah aku dan ibuku.

Komunikasiku dengan ibu seperti sambungan telpon susah sinyal, terputus-putus. Tak mengerti kenapa. Aku hanya dapat menganalogikan karena wataknya sama-sama keras. Antara naga dan macan serta tikus sebagai perantara kami.

Ibu merupakan pejuang paling tangguh yang pernah aku kenal. Supermom dalam bentuk nyata, dengan karakternya sendiri. Semua orang mempunyai karekternya masing-masing, limited edition tidak ada yang sama. Mungkin sama tapi tak mungkin mutlak serupa.

Begitu juga aku, walau sama-sama keras wataknya, kami jauh berbeda, perbedaan inilah yang terkadang berbenturan.

Kakak sebelum menikah adalah segalanya bagiku. Tempat sampah bagi semua emosi positif dan negatifku. Teman main yang seru, parnert in crimenya aku saat sedang melakukan pelanggaran dalam batas wajar.

Ya aku dan kakakku sangat dekat sekali, saling supports dalam hal positif maupun negatif.

Kenangan masa kecil yang aku ingat adalah saat pertama sampai di Jakarta. Aku yang masih bersosialisasi dengan lingkungan baru belum berhasil mendapatkan teman.

Aku selalu membuntuti kakakku main bersama teman-temannya, terkadang dia tidak ingin ada aku di lingkungan pertemanannya. Butuh me time kali ya. (Maapin gw sis belum paham waktu itu)

Saat membututinya aku berlari dan terjatuh. Dia akhirnya berbalik arah, dan menghampiriku, akhirnya mengajakku pulang. Kebetulan perjalanannya agak jauh, kakakku bertanya padaku: “capek ga? Kakak gendong aja deh”. Begitu kira-kira percakapan kami kala itu.

Aku yang bertubuh mungil saat itu di gendong belakang. Dan diperjalanan pulang kami mampir ke warung Pak Aji untuk beli es cream “capek juga ya“, begitu gumamnya saat mampir di warung pak Aji. Kemudian dia membeli es cream Campin* kacang hijau dua buah. Satu untukku dan satu untuk dia. Dan kami berjalan sampai rumah. (dalam hati yang gendong siapa yang cape siapa yang dibelikan es cream siapa).

Ibuku memilih menjadi Ibu pekerja karena tuntutan keadaan waktu itu. Bekerja pagi hari sampai malam, ibu baru sampai di rumah menjelang isha.

Membesarkan dua anak perempuan seorang diri tidaklah mudah, dengan gaji honor guru di waktu itu tidak sefantastis saat ini. Jika hanya menggandalkan horor guru saja, rasanya sulit bagi kakak dan aku melanjutkan pendidikan sampai memperoleh gelar sarjana.

Beliau rela mengajar sampai larut malam, pagi mengajar di SD negeri, sore dan malam mengajar privat anak-anak kaum elite, bahkan dengan ajaib beliau dapat mengajar seorang anak dari P*L*TA* HARAP*N dengan modul berbahasa Inggris sedangkan beliau tidak bisa Bahasa Inggris. 

Dari cerita ibu anak tersebut merupakan anak pengusaha yang memiliki toko Ramay*n* dan Robins*n, rupanya si anak nyaman ditemani belajar dengan ibu dari pada ditemani suster sedangkan Mami Papinya jarang di rumah. Aku pernah mendengar ibu bercerita ke salah satu rekannya: “anak orang saya ajarin, saya temanin sampai bisa, anak sendiri tidak di urus”. Pasti itu pilihan yang berat bagi ibu.

Karena keadaan tersebut setiap hari aku dan kakakku saling membantu saat belajar. Ibu sudah kehabisan waktu dan tenaga sudah tidak sanggup mendampingi kami jadi kami harus mandiri.

Kakakku sering kali membantu aku, aku payah dalam bidang seni. Segala jenis pelajaran yang berhubungan dengan estetika di kerjakan oleh kakakku.

Mulai dari menggambar, membuat kapal dari sabun mandi batangan, membuat patung dari bubur kertas, mengerjakan tugas tulisan tegak bersambung bergaris. Semua dia yang mengerjakan, aku hanya menikmati hasilnya berupa angka 8 dan 9 di rapor.

Saat aku kesulitan mengurai rumus Pythagoras atau pelajaran lain yang tidak aku mengerti, ibu mengantarkan aku ke rumah teman yang juara kelas. Dan meminta ijin orang tuanya untuk belajar bersama dan dialah teman pertamaku di Jakarta.

Keluargaku seperti Segitiga bukan Cemara. 7
OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Saat dewasa, aku selalu kebagian jaga gawang saat kakakku sedang suka-sukanya sama KPOP. Begitu juga sebaliknya saat aku traveling beliau adalah kiperku dari pertanyaan-pertanyaan ibu. Sekutu yang sempurna.

Setiap moment ada masanya, sekarang masa-masa itu hanya untuk di kenang. Karena sekarang kita menjalani dunia sendiri-sendiri. Bukannya terputus komunikasi dengan kakak. Hanya saja dia punya kehidupan sendiri saat sudah menikah.

Sedangkan aku menjalani kehidupan bersama Ibuku. Ibu sudah pensiun dari pekerjaannya menjadi veteran menikmati hari tua menjadi manusia nomeden dari Jakarta ke Minang Kabau. Bosan di Jakarta pulang kampung, bosan di kampung pulang kembali ke Jakarta.

Terserah sajalah Bu, yang penting Ibu bahagia. Terima kasih Ibu, terima kasih Kakak. Kalian tak terganti dan selalu di hati.

You may have broken home but it didn’t destroy your life

Show More

Reno

Traveler, Backpacker, Animation Lover, Animal's Lovers, Pluviophile, Nyctophilia,

Related Articles

8 Comments

  1. Aku juga tim yang gak begitu Deket sama Ibu hahaha. Tapi aku iri iihh sama kedeketan Kaka adek.. aku mulai Deket sama adekku baru2 ini aja. Padahal dulu kecilnya mereka sama aku wkwkwkwk

    1. Mungkin mereka lebih hormat kali ya kak, karena menggantikan peran Ibu. Kalau aku sama kakak memang rentang usianya ga jauh. Jadi ngebaur aja semua. Temanku temen kakaku, temen kakaku temen ku. Walau ga selalu.

    1. Iya, perlu cari jalan lain biar tidak bersinggungan. Perlu rem biar ga sampai terbentur. Perlu mengalah dan menurunkan ego, gimana pun karena Ibu kita eksis di dunia. Eh ada peran ayah juga ya. Heheh

  2. Pingback: ABOUT KUBBU 30HMC

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
error: Content is protected !!