Cinta pertama
Loading……
Mesin pencari di kepalaku sedang menemukan kata kunci itu. Memori mana yang akan muncul kepermukan.
Apakah kalian penasaran, akupun sama penasarannya dengan kalian apa yang akan tumpah pada artikel kali ini. Seberapa besar percikan buih memori tersapu ketepian jemari tanganku. Menyatu bersama keyboard, merangkai kata demi kata. Baiklah coba kita pasrahkan pada semesta.
Cinta pertama, semua orang pasti mengalami hal pertama dalam hidupnya selama ingin mencoba.
Begitu juga denganku, aku memberanikan diri untuk membuat janji bertemu dengan Nemo, Dori, Bruce, Mr Krabs, Patrik, Squidward dan species lainnya saat usiaku masih belia, bisa jadi hanya imajinasi anak kecil.
Entah kapan aku bisa melunasi hutang janji tersebut.
Benar kata orang, cinta itu hadir tanpa logika, bahkan aku bisa segila itu dengan laut. Sangat jauh dari logika bagaimana mungkin sebuah sponge bisa tenggelam sampai kedasar laut tanpa pemberat berlarian di Bikin Bottom. Mempunyai hewan peliharaan siput yang mengeong.
***
Ups, maafkan pikiran ku tersesat, jariku tergelincir. Mari kembali kita membahas cinta pertama.
Tapi sebelumnya ijinkan aku mengutip sebuah kata yang di ucapkan oleh Arai di buku Laskar Pelangi ” Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”
***
Aku akhirnya bertemu cinta pertama ku setelah puluhan tahun menahan rindu. Tepatnya 2014 aku diijinkan Allah untuk menemui cinta pertama ku Nemo dan teman-temannya.
Cinta itu harus diperjuangkan, rasanya pernyataan ini ada benarnya, aku sudah membuktikannya. Aku mengorbankan banyak waktu bahkan nyawaku sendiri untuk bertemu mereka. Aku hampir mati tenggelam saat nekat menyelam karena tergiur harga murah (dasar kaum proletar) oleh dive center abal-abal.
Aku rela kedinginan berenang jam 8 malam hanya demi menghalalkan mereka untuk mendapatkan sertifikat agar pertemuan kami menjadi sah berdasarkan ketentuan yang berlaku di Bikini Bottom.
Nemo dan kawanannya memang cinta pertamaku tapi mereka bukanlah satu-satunya. Tepat di tahun pertemuan kami, aku telah jatuh hati terlebih dahulu dengan kediaman Ratu Anjani.
Berhati-hatilah dengan benci, karena benci itu dekat dengan cinta, jangan terlalu membenci dan mencintai karena keadaan akan cepat berubah.
***
Di tengah-tengah perjalanan mendaki gunung Rinjani, tepat di bukit penyesalan, aku benar-benar menyesal, menggerutu, kenapa aku nekat kesini. Napas sudah sepenggal-sepenggal. Pos terakhir Plawangan Sembalun belum juga terlihat. Marah, letih tapi aku harus bertanggung jawab dengan kenekatanku. Gunung Rinjani adalah gunung pertama yang aku naiki, aku belum pernah mendaki gunung manapun sebelumnya. Keputusanku mendaki gunung ini untuk menemui Danau Segara Anak yang cantik itu adalah kegilaan yang aku syukuri saat ini.
orang memberikan membuka jalan menuju puncak
Dewi Anjani menerimaku dengan baik di kediamannya, aku berhasil sampai puncak serta bermalam ditepian Danau Segara Anak. Mandi air panas di Aik Kalak untuk meregangkan otot yang kaku yang dipaksa berjalan menapaki bukit penyesalan, menanjaki pasir berpacu dengan gravitasi, naik satu langkah, turun tiga langkah, dan menuruni tebing Senaru.
Menyusuri pinggiran Danau Segara Anak, dan kembali menyusuri jalur Senaru berpamitan pulang dan berterima kasih pada Dewi Anjani. Telah menjamu-ku dengan baik.
Perjalanan pulang, membuatku mendadak benci pada gunung ini pada awalnya. Perjalanan dari Segara Anak dimulai pagi hari dan kami baru berhasil sampai di pos tiga jalur senaru jam 4 sore. Diguyur hujan deras, setelah puasa berjam-jam selama perjalanan. Tidak ada sumber mata air di sepanjang jalur ini. Satu-satunya sumber air hanya di pos 3.
Dok Pri : Jalur Pendakian
Setelah beristirahat, memasak, makan dan mengisi ulang air perbekalan air minum. Tidak terasa magrib telah tiba. Ternyata aku dan temen perjalananku terlalu lama beristirahat. Eh ternyata bukan karena beristirahat terlalu lama tapi menuggu hujan berhenti (barusan otakku berinterupsi).
Aku dan teman perjalananku melanjutkan perjalanan dari pos tiga ke pintu rimba. Menyusuri jalur yang basah dan licin sehabis hujan, kala itu aku sudah tidak menghiraukan bau tanah, aku benci tanah basah ini, aku tergelincir berkali-kali. Membuat pergelangan kaki kananku sakit.
Setiap ada turunan tajam aku akan berjalan mundur untuk mengurangi rasa sakitnya. Langit malam sudah semakin gelap, rasanya sudah berjalan berjam-jam tapi baru sampai pos bayangan menuju pos 2. Kami beristirahat sejenak mengumpulkan tenaga. Ya Allah kenapa lama sekali, aku menggerutu sekian kali, sampai akhirnya air mataku menetes.
Badan ini sudah sangat lelah, baju yang di ganti sehabis di guyur hujan kembali basah oleh keringat, kaki cenat-cenut tidak karuan, udara dingin yang menusuk tulang, suasana malam yang mencekam. Saat itu aku merindukan tempat tidur yang lusuh itu.
Teman perjalananku menguatkanku, sambil memelukku salah seorang berbisik padaku : “udah mba jangan nangis, nanti sehabis ini kita kan mau ke Gili Trawangan, nanti kita snorkling ya, ketemu banyak ikan.” (Njirr kek bujuk bocah). Kami pun tertawa. Tapi entah kenapa itu menjadi energi bagiku, kembali kepada kepelukan cinta pertamaku seperti mempunyai harapan baru.
Awalnya aku dikira melihat sesuatu (baca: makhluk gaib), dan kami melanjutkan perjalanan kembali, aku tak menjelaskan apa-apa biarkan mereka menduga asal tidak beristirahat disini terlalu lama. Aku sudah tak sanggup menahan dingin kantuk dan nyeri. Pergelangan kaki sudah berasap hasil pertemuan suhu tubuh dan suhu udara.
Tepat pukul 2 dini hari kami semua sampai di pintu rimba. Sampai di pintu rimba kami langsung mencari warung, membeli teh panas untuk menghangatkan diri.
Setelah menyeruput habis teh panas dan membersihkan diri kami memutuskan untuk menunggu kloter terakhir. Untuk nanti sama-sama turun mencari tempat untuk beristirahat.
Cukup lama kami menunggu samar samar terlihat ada pendaki menuju arah kami. Om Mawardi dan Away muncul dengan 2 orang perempuan. 1 orang terseok-seok jalannya ternyata pergelangan kakinya terkilir. Ternyata itu alasannya kenapa Away memutuskan untuk tetap tinggal di pos bayangan. OM Mawardi seorang diri mengawal 2 perempuan di belakang.
Sambil mengunggu kloter terakhir bersih-bersih kita sibuk membicarakan kejadian yang telah kami alami. Suasana hatiku sudah jauh membaik. Om Mawardi kembali menyalamiku dan mengucapkan selamat yang kedua kalinya setelah di puncak kemarin.
Om Mawardi menggodaku dengan pertanyaan, jadi gimana perjalanannya. Aku menjawab sekenanya “LUAR BIASA!!!”. Tetapi Away menimpali : “jadi kapok ga naik gunung”.
Dengan tegas aku menjawab, KAPOK!. Mereka semua tertawa dengan kompak. Kemudian Om Mawardi kembali menimpali, “kaget Reno Way, masih penjajakan nanti juga kangen, benci-benci cinta gitulah.”
Setahun kemudian, aku bertemu Om Mawardi di Jalur kerinci.
Ya seperti itulah cinta segitiga kami, aku laut dan gunung. Aku tidak dapat memilih salah satunya. Gunung menerima aku apa adanya, mengajarkankan ku perjuangan hidup dan laut menyembuhkan rinduku yang menahun, menghiburku dengan berbagai parade warna-warni kehidupan laut.
Mencintai Maha Karya Allah tidak akan membuatku patah hati dan mati dimakan sepi. Begitu banyak keramahan disana, menerima apa adanya tanpa kasta, strata dan agama. Kami saling menguatkan, menghargai dan melindungi satu sama lain layaknya sebuah keluarga dengan apa adanya kita.
Dinda, Yuni, Mas Aiz, Mas Wahyu, Dewi, Tyas, Saya, Away.